Iklan

Maleo News
Monday, January 26, 2015, 1:43:00 PM WIB
Last Updated 2019-03-25T18:00:52Z
Sejarah

Hukum Internasional

Advertisement


1.      Hakikat Hukum Internasional
Hukum Internasional dalam hubungan internasioanl, berfungsi setidaknya untuk membatasi perebutan kekuasaan di bidang Internasional. Sehingga, negar-negara yang melakukan hubungan internasional dapat mengetahui; mana batas-batas wilayah negara mereka didarat maupun dilaut. Mengetahui syarat-syarat yang bagaimana suatu negara dapat memperoleh pemilikan sah atas wilayah yang tidak ada pemiliknya sama sekali, atau wilayah aneksasi?. 

Suatu negara juga harus mengetahui kekuasaan yang bagaimana yang harus dimiliki terhadap warga negara lain yang tinggal diwilayah negaranya, dan terhadap warga negara sendiri yang tinggal di wilayah asing?. Juga mengatur hak-hak suatu negara terhadap kapal asing yang masuk keperairannya. Bahkan mengetahui syarat-syarat suatu perjanjian antara dua negara  atau lebih mengikat, dan syarat-syarat yang bagaimana suatu perjanjian kehilangan kekuatan mengikatnya?. Persoalan diatas dan masih banyak masalah lainnya yang dengan sendirinya timbul dalam hubungan internasional yang harus diatur dalam aturan hukum internasional.
Pada hakikatnya Hukum Internasional bersifat desentralisasi yang merupakan hasil kekuatan sosial negara-negara konsensus. Dimana dalam kekuatan sosial seharusnya memiliki perimbangan kekuasaan, agar mencegah suatu negara kuat menjadi maha kuat dan mendominasi negara yang lemah. Walaupun dalam praktiknya tak seperti itu.
Dalam Hukum Internasional terdapat lembaga Legislatif dan Lembaga Pengadilan. Masing-masing lembaga ini memiliki fungsi yang berbeda, dan aturannya terikat oleh keputusan-keputusan resmi yang berlaku. (stare decisis).
1.1  Legislatif dalam Hukum Internasional
Fungsi Legislatif dalam Hukum Internasional serupa dengan apa yang ada di dalam suatu negara yaitu membuat hukum atau undang-undang. Dalam lingkungan Internasional hanya ada dua kekuatan yang mempengaruhi pembuatan hukum atau undang-undang internasional yaitu; keperluan dan persetujuan bersama.
Tiap-tiap bangsa hanya terikat oleh aturan-aturan Hukum Internasional yang telah mendapat persetujuan, dan hanya untuk bangsa-bangsa yang menjadi pesrta perjanjian internasioanl. Piagam PBB merupakan contoh hasil kerja lembaga legislatif hukum internasional.
Kelemahan karakter fungsi legislatif dalam Hukum Internasional yang terdesentralisasi ini ialah; ketidakpastian yang berkenaan dengan apakah perjanjian internasional yang sah ditandatangani dan diratifikasi, nyata-nyata mengandung sebagian atau seluruhnya aturan- aturan sah internasional yang mengikat para penandatangannya. Ketidakpastian ini berkenaan dengan eksistensi aturan tertentu yang merupakan asas dasar, yang sah ditandatangani dan diratifikasi oleh hampir semua anggota masyarakat internasional, yang menggoyahkan asas dasar hukum internasional.
Contoh yang peling menonjol dari hukum internasional jenis ini, Pakta Briand-Kollogg tahun 1928. Dimana didalamnya hampir semua bangsa setuju untuk menolak perang sebagai alat politik nasional dalam hubungan-hubungan mereka satu dengan lainnya. Apakah sejak permulaan perjanjian ini merupakan suatu aturan hukum internasional yang mengikat semua penandatangan, atau merupakan prinsip maral belaka tanpa ada dampak-dampak hukumnya?. Yang penting untuk dicatat kelemahan dari suatu sistem hukum yang tidak mampu memberi jawaban terhadap pertanyaan yang demikian mendasar seperti apakah sistem tersebut melarang diadakannya tindakan kekerasan kolektif untuk tujuan-tujuan tertentu.
1.2  Pengadilan dalam Hukum Internasioanl
Meskipun kekurangan-kekurangan akibat desentralisasi sifat fungsi legislatif, suatu sistem hukum masih dapat mengekang aspirasi-aspirasi kekuasaan dari subjeknya, asal saja ada organ-organ pengadilan yang mampu bicara dengan wewenang apabila timbul perselisihan mengenai eksistensi, atau makna dari suatu aturan-aturan hukum.
Oleh karena tidak ada sistem hukum yang dengan efektif dapat membatasi kegiatan-kegiatan subjeknya tanpa adanya yurisdiksi wajib untuk mengatasi sengketa-sengketa suatu negara, maka kedua masalah mendasar lainnya dari keputusan pengadilan organisasi organ-organ pengadilan dan dampak keputusan masing-masing merupakan makna yang dinomor duakan. Didirikannya Mahkamah Tetap Internasioanal dan kemudian penggantinya, yaitu Mahkamah Internasional, merupakan suatu petanda langkah penting, mungkin yang paling penting dari semuanya, kearah sentralisasi fungsi-fungsi dibidang hukum internasional.
Hambatan utama bagi berdirinya Mahkamah Tetap Internasional yang benar-benar adalah susunan pengadilannya. Bngsa-bangsa kuat sekali keinginannya untuk melestarikan kebebasan bertindaknya dalam masalah pemilihan para hakim untuk setiap perkara khusus seperti kuatnya keinginan mereka untuk melestarrikan kebebasan bertindak mereka dalam menyerahkan setiap sengketa khusus untuk diadili.
Makamah Internasional adalah satu-satunya pengadilan yang berpotensi memiliki yurisdiksi di seluruh dunia. Mahkamah Internasional bukanlah dalam arti suatu pengadilan tertinggi dunia yang dapat memutuskan dengan kewenangan yang menentukan, naik banding terhadap keputusan-keputusan mimbar pengadilan internasional lainnya. Mahkamah Internasional hanya salah satu pengadilan internasional yang menonjol oleh karena tetapnya organisasinya, potensi jangkauan yurisdiksinya dan pada umumnya tinggi nilai hukum keputusan-keputusannya. Meskipun bukan arti secara hirarki lebih tinggi di atas dari keputusan-keputusan pengadilan internasional lainnya. Keputusan-keputusan Mahkamah Internasional, berkat mutu profesionalnya yang sangat baik, dapat membekas pada keputusan-keputusan lain-lain pengadilan internasional, akan tetapi oleh karena tidak terikat aturan stare decisis, maka lain-lain pengadilan internasional, tidak lagi berdasarkan kewajiban hukum untuk membuat keputusan-keputusan mereka sesuai dengan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional dan tidak pula ada kewajiban pada pengadilan-pengadilan tersebut untuk menyesuaikan keputusan-keputusannya sendiri satu dengan lainnya.
1.3  Pelaksanaan Hukum Internasional
            Pada fungsi eksekutif, desentralisasinya menyeluruh dan tidak memenuhi persyaratan. Hukum Internasional tidak mempunyai organ dan peralatan tersendiri untuk mencapai tujuan, tetapi menggunakan organ dan peralatan pemerintah nasional masing-masing anggota untuk mencapai tujuan. Jika suatu Negara X melanggar hak Negara Y, maka tidak ada organ pelaksanaan yang membantu Negara Y, hanya Negara Y yang bisa menghadapi pelanggaran tersebut jika mampu. Sistem ini meyerahkan pelaksanaan hukum kepada perubahan distribusi kekuasan antara pelanggar hokum dengan korban pelanggaran. System ini mengakibatkan Negara yang kuat melakukan pelanggaran semaunya terhadap Negara yang lemah tanpa takut terhadap sanksi yang akan diterima. Sebaliknya Negara kecil tidak bisa berbuat banyak terhadap Negara-negara besar, Negara  kecil berusaha mencari perlindungan terhadap bangsa besar agar nantinya ada Negara yang menjadi backing ketika mempunyai suatu masalah dengan Negara lain. Contoh kasus yang terjadi adalah pelanggaran yang dilakukan oleh Jerman terhadap Belgia pada tahun 1914, pelanggaran yang dilakukan oleh Korea Utara terhadap Korea Selatan pada tahun 1950, AS dan sekutunya membantu Korea Selatan. AS mendukung revolusi pada tahun 1903 yang mengakibatkan berdirinya Negara Panama dengan melanggar hak-hak Kolombia. Disini, jelas terlihat, tidak ada perimbangan kekuasaan yang mungkin dapat melindungi sebuah Negara terutama Negara yang lemah.
            Sebagian besar aturan hukum internasional pada umunya ditaati oleh bangsa tanpa ada pasksaan yang nyata, sebab menyangkut kepentingan semua bangsa yang bersangkutan untuk menjunjung  tinggi kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional. Maka suatu Negara tidak boleh sewenang-wenang terhadap Negara lain karena kepentingan pribadi.
            Kebanyakan aturan hukum internasional merumuskan dalam istilah hokum kepentingan yang serupa atau saling melengkapi. Hukum internasional tidak terpengaruh terhadap kelemahan system pelaksanaanya, sebab semua anggota patuh secara sukarela untuk mencegah munculnya permasalahan.
·         Upaya dalam memperbaiki situasi dalam pelaksanaan Hukum Internasional
Perjanjian-perjanjian Jaminan
            Perjanjian Blois tahun 1505 antara Prancis dan Aragon, dijamin oleh Inggris. Jaminan ini berarti bahwa Inggris meletakkan kewajiban hokum pada dirinya untuk bertindak sebagai polisi mengenai pelaksanaan perjanjian, dan mengusahakan kedua belah pihak memenuhi perjanjian tersebut. Negara penjamin perjanjian biasanya Negara yang berpengaruh kuat dan mempunyai kekuaran militer yang memadai. Persyaratan perjanjian Jaminan harus memenuhi syarat yaitu harus efektif dan berjalan otomatis. Dalam hal efektivitas, hambatan yang biasanya ditemukan adalah ketidakpastian pelaksanaanya, banyak jalan keluar yang dipergunakan oleh si penjamin untuk mengelakkkan pelaksanaan perjanjian tanpa mengelaknya.
Keamanan Bersama
            Keamanan bersama adalah usaha yang paling besar pengaruhnya yang tercatat untuk mengatasi kekurangan system pelaksanaan hokum yang serba desentralisasi yang dilakukan oleh masing-masing Negara anggota. System keamanan bersama diatur dalam pasal 16 Perjanjian Liga Bangsa-bangsa yang intinya : penggunaan perang bertentangan dengan ketentuan tentang penyelesaian sengketa internasional secara damai, bangsa yang melanggar hokum dianggap telah melakukan tindakan perang terdadap Negara lain dalam keanggotaan LBB, para anggota LBB mempunyai kewajiban hokum untuk saling membantu secara ekonomi dan militer di dalam pelaksanaan tindakan bersama. Selanjutnya, resolusi yang dikeluarkan oleh LBB dalam menangani masalah tidak lepas dari peranan masing-masing anggota, setiap anggota boleh memutuskan tindakan apa saja yang akan diambil untuk Negara yang melanggar hokum dengan saling mendukung satu sama lain antar anggota yang tidak melanggar.  Namun LLB kurang tegas, buktinya ketika Uni Soviet berperang melawan Finlandia pada tahun 1939, Negara itu kemudian dikeluarkan dari LBB atas dasar pasal 16 paragraf 4, namun LBB tidak menjalankan tindakan pelaksanaan terhadap bersama terhadap Rusia. Penerapan sanksi ini tidak berjalan dengan efektif sehingga hampir menjamin kegagalan sanksi itu dan keberhasilan Negara yang keras kepala.
Bab VII Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa
Piagam PBB terdiri atas pasal 39-51 merupakan imbangan pasal 16 LBB sebagai usaha untuk mengatasi kelemahan system terpencar pelaksanaan hokum internasional. Piagam PBB ini jauh melampaui apa yang direncanakan oleh LBB atau ketentuan manapun dari hokum internasional. LBB membiarkan masing-masing bangsa memutuskan ada tidaknya pelanggaran terhadap perjanjian itu sedangkan dalam Piagam PBB menyatakan, “dewan keamanan harus menentukan adanya setiap ancaman terhadap perdamaian, gangguan keamanan, atau tindakan agresi dan harus memutuskan langkah apa yang harus diambil sesuai dengan pasal 41 dan 42 untuk mempertahankan atau memulihkan keamanan dan perdamaian internasional”. Jadi di dalam Piagam PBB, kebijakan masing-masing Negara anggota tidak dipertimbangkan. Sanksi ekonomi diatur dalam pasal 41, sanksi militer dalam pasal 42, 43, dan 45.
            Faktor militer dari mekanisme hanya dapat dilahirkan dan diberlakukan jika masing-masing Negara anggota menyetujui unsure militer tersebut berlaku. Dewan keamanan berkuasa penuh dan kebebasan bangsa yang mengadakan persetujuan berakhir, paling tidak di dalam batas aturan dari piagam. Meski demikian, Negara anggota masih bisa menolak kebijakan dari Dewan keamanan. Namun,  hingga saat ini, tidak ada persetujuan yang dibuat berdasarkan pasal 43, akibatkan pasal 106 piagam yang diterapkan. Pasal ini menentukan bahwa tidak ada persetujuan yang demikian makan AS, Inggris Raya, Uni Soviet, Cina,dan Prancis harus berkonsultasi lebih dahulu untuk tindakan perdamaian internasional.
            Kualifikasi terhadap system pelaksanaan bab VII piagam PBB ini tidak perlu bersifat oganik, sebab dengan sendirinya akan menjadi tidak berarti jika dan apabila persetujuan yang dimaksud pasal 43 ditandatangani. Pasal 51 “ tidak ada sesuatupun dalam piagam yang akan mengurangi hak bawaan untuk mempertahankan diri secara sendirian atau bersama-sama jika terjadi serangan bersenjata terhadap anggota PBB”. Jadi setiap bangsa yang mendapat serangan dari serangan dari Negara lain yang, maka PBB melalui dewan keamanan akan siap membantu.
Veto
            Dalam pasal 27 paragraf 3 bab VII menyatakan bahwa “ keputusan dewan keamanan harus diambil dengan pemilihan suara dari Sembilan anggota termasuk suara dari anggota tetap”. Menurut pasal 23 anggota tetap adalah Cina, Prancis, Inggris Raya, Uni Soviet dan AS. Jika satu anggota tidak setuju, maka misi tidak akan dilaksanakan. Setiap anggota tetap mempunyai hak veto mengenai tindakan dalam melaksanakan apapun yang akan diambil sesuai dengan Bab VII.
            Hak veto dimasukkan ke dalam pelaksanaan hokum PBB dengan bergantung pada kehendak setiap Negara anggota tetap. akibat dari hak veto yang perlu diperhatikan :
1.      Veto menghapus kemungkinan apapun dari dikenakannya tindakan pelaksanaan hokum yang terpusat terhadap anggota tetap.
2.      Mengingat pasal 27 paragraf 3, Dewan Keamanan mampu menggerakkan peralatan pelaksanaan piagam, hal itu hanya berhasil terhadap Negara anggota kecild an sedang ( tidak termasuk anggota Dewan keamanan).
Anggota tetap yang bersangkutan harus tetap melawan apa yang dianggapnya sebagai kepentingan nasionalnya sendiri untuk kepentingan bersama sebagai tim anggota tetap. Akhirnya, veto menghapuskan segala fungsi praktisi dan kualifikasi yang diusahakan pasal 51 untuk mengsubordinasikan hak pertahanan diri bersama dibawah system tepusattt pelaksanaan Bab VII.
Maka dari itu, gambaran yang dikesankan Piagam PBB berbeda dari hokum Internasional pada umumnya mengenai potensi hukumnya. Tugas hokum yang paling penting adalah memaksakan pengendalian yang efektif terhadap perbutan kekuasaan. PBB tidak mampu melaksanakan tugas ini terhadap Negara-negara besar karena pasal 27 menempatkan Negara besar di luar jangkauang tindakan pelaksanaan yang diambil berdasarkan piagam.
Resolusi “ bersatu demi perdamaian”
            Pengalaman perang Korea menyadarkan kebanyakan anggota PBB mengenai ketidakmampuan Dewan Keamanan untuk menghadapi perang. Dimana ketika agresi Korea Utara terhadap Korea Selatan, RUsia sebagai anggota Dewan keamanan tidak haris dalam penerapan penentuan piagam sehingga tidak ada resolusi yang relevan. Setelah Rusia kembali ke Dewan Keamanan, MajeliS umum diminta kembali meningkatkan bebankeorganisasian PBB. Pada bulan Nov 1950, Majelis Umum mengesahkan Resolusi bersatu demi Perdamaian. Pokoknya antara lain :
1.      Majelis Umum dapat bersidang dalam waktu 24 jam jika dewan keamanan dihalangi oleh veto untuk melaksanakan tugasnya terhdap perdamaian dan keamaanan internasional.
2.      Majelis Umum dapat merekomendasikan kepada Negara-negara anggota tindakan bersama termasuk penggunaan angkatan bersenjata.
3.      Rekomendasi agar setiap Negara anggota memelihara unsure did ala angkatan bersenjata nasionalnya terhadap kemungkinan tugas kesatuan PBB.
4.      Pendirian Komisi Pengamat Perdamaian
5.      Pendirian Komite Tindakan Bersama sesuai dengan piagam PBB.
Komite tindakan bersama telah melaporkan kepada majelis Umum secara berkala. Komite Tindakan bersama mencurahkan perhatiannya pada Negara anggota, dukungan dengan nasehat dab tindakan tamabhan dari badan khusus PBB. 
            Dengan demikian, makan mengingat pembatasan konstitusional yang menentukan ruang lingkup tugasnya, Resolusi “ Bersatu demi Perdamaian” dan KOmite tindakan bersama tidak dapat berusaha mengubah sifat desntralisasi tindakan pelaksanaan hokum yang dapat direkomendasikan oleh Majelis Umum kepada Negara anggota. Hokum internasional tetap sama terdesentralisasi dibawah piagam PBB dan Piagam LBB dan dibawah hokum internasional hokum.  Tidak ada usaha terpadau untuk mengubah dungsi legislative hokum internasional, tetapi usaha berturut-turut diadakan untuk mengubah fungsi pengadilan dan fungsi eksekutif. Jadi desentralisasi itulah inti dari hokum internasional dengan prinsip kedaulatan.

Sumber: Sitorus. Jhon Miduk. Pendidikan administrasi Perkantoran. Universitas Negeri Jakarta . 2014